Oleh : Nee.
Gambar oleh : Pixabay. |
Ketika anggaran negara tidak terpengaruh
pada peningkatan pendidikan, literasi salah satu kata tersurat yang memiliki
makna tersirat di dalamnya. Hoax, kebodohan serta pembulian sangat relevan
kaitannya dengan loncatan budaya dari rendahnya tingkat membaca. Tidak
berpengaruhnya proses kebijakan peningkatan pendidikan bersubstansi karena tidak
adanya peningkatan kemampuan literasi secara massal di masyarakat Indonesia,
jadi belum tentu yang berpendidikan pun mempunyai budaya literasi yang baik
jika suasana bermasyarakat tersebut tidak dialiri oleh pertukaran ide, karena
literasi merupakan sebuah pertukaran ide dimana sebuah kritik diaktifkan. Dapat
disimpulkan literasi hanya bisa disebut literasi bila ia dapat menghasilkan
pertukaran ide, menonton film kemudian memberi review itu artinya memberi
kritik pada film dapat pula dikatakan literasi. Mengajukan problem pada publik
dalam upaya untuk mengaktifkan pertukaran ide literasi, kemudian kita
bertransaksi di dalam ide maka disitu-lah literasi ada. Duel argumen tidak
mungkin tercapai apabila literasi tidak diedarkan dengan maksud edukasi.
Jika kita lihat, masyarakat Indonesia lebih suka mengkonsumsi suasana
ketimbang dengan memproduksi argumen, di dalam sistem budaya kita dianggap
bahwa mengajukan pikiran yang terang-terangan itu artinya menghina, karena itu
mengapa keris pada budaya Jawa harus diletakkan pada belakang tubuh, berbahaya
memang karena orang lain tidak akan tahu bahwa Anda mempunyai senjata yang tak
terlihat, di dalam perang bisa dibilang biasa, tetapi di dalam kehidupan
politik demokrasi senjata Anda harus diletakkan di atas meja, karena demokrasi
artinya terbuka terhadap persaingan. Sebab itu literasi merupakan deteksi kecil
yang dapat membuat kita masuk ke dalam kebudayaan politik, kita dapat
menganalisis polusi negara hanya dengan istilah “literasi”.
Literasi hidup di dalam suatu kultur, jika suatu kultur tersebut tidak menerima kritik, literasi tidak akan mempunyai daya guna. Karena fungsi literasi adalah untuk mengaktifkan krtitik. Itulah salah satu sebab mengapa Indonesia berada pada tingkat bawah perihal membaca. Literasi memiliki makna yang besar dalam kualitas suatu bangsa peradaban manusia, kontekstual empiris dari kehadiran literasi sebagai salah satu tolak ukur perkembangan serta memengaruhi kualitas suatu bangsa. Dibeberapa negara literasi sudah mengalami tingkat skala yang tinggi dalam fase versi terbaik bagi negara maju, salah satunya seperti negara Finlandia, Denmark, Amerika Serikat, Jerman, Kanada, dan Korea Selatan. Literasi dalam hal minat baca tentunya memiliki peringkat yang terbaik disetiap benuanya, maka dari itu hal yang wajar apabila membahas perihal kualitas dimana negara-negara tersebut dapat merealisasikannya menjadi nyata serta kredibel. Indonesia berada pada zona tragis, yaitu peringkat ke-60 dari 61 negara berdasarkan Studi World Most Literate Nations yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (CCSU) pada tahun 2016 lalu.
Konsekuensi logis menjadi masyarakat
dinamis, adaptable, modern, dan yang terpenting kepribadian karakter asli
Indonesia yang melestarikan budaya kearifan lokal berlandas Pancasila dan
UUD 1945 merupakan hal yang harus kita lakukan dengan keberadaan literasi
diabad ke-21 ini, karena pada abad ke-21 merupakan era revolusi
pengetahuan, teknologi, komunikasi, dan jaringan global akan semakin
bertambah pesat seiring dengan adanya media berbasis AI (Artificial
Intelligence). Sangat memperihatinkan memang, melihat Indonesia berada
dalam peringkat ke-60 perihal minat baca. Dengan sadar betapa
pentingnya kecakapan literasi baca-tulis dari generasi ke generasi hingga
lintas generasi adalah salah satu upaya yang perlu kita lakukan guna
mewujudkan kemajuan bangsa. Walaupun literasi dideskripsikan menjadi
beberapa dimensi menurut buku panduan Gerakan Literasi Nasional Kemdikbud
RI, yaitu literasi baca-tulis, literasi sains, literasi digital, literasi
finansial, serta literasi budaya dan kewargaan, namun semua dimensi induk
ada pada literasi dari baca dan tulis. Yang membedakan hanya pada ranah,
media, tujuan, dan era. Sehingga semakin seseorang rajin membaca
terlebih dengan menulis, maka dimensi-dimensi literasi lain juga akan
berjalan sejalur dengan indeks progres minat baca-tulis dalam suatu bangsa
atau negara.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “literasi” memiliki
arti kemampuan menulis dan membaca. Bahkan menurut arti yang ketiga KBBI,
literasi adalah kemampuan individu dalam mengolah informasi
dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Memiliki inti pemahaman literasi
yang bermula dari menulis dan membaca, teridentifikasi sebagai kapabilitas
individu yang berpengaruh pada kecakapan hidupnya. Dalam artian, jika
seorang individu semakin banyak menulis dan membaca, maka kualitas hidup
seseorang akan semakin merambak. Semakin banyaknya masif pribadi yang
seperti itu merupakan salah satu konsekuensi positif yang bisa diraih
dalam hal kemajuan suatu negara. Ini terbukti dengan survei dan penelitian
yang berkesinambungan oleh institusi resmi atau independen seperti CCSU,
Organisatioon for Economic Co-Operation and Development (OECD).
Sungguh kemajuan menemukan kemampuan literasi merupakan
harapan dan cita-cita yang ingin dicapai Ibu Pertiwi menuju Indonesia Emas
pada tahun 2045. Tentunya tidak mudah apabila Indonesia memperoleh harapan
tersebut dengan praktik instan. Upaya yang dapat dilakukan harus
terintegrasi dengan seluruh aspek dari berbagai macam pihak. Literasi
layak hadir disemua lini, sebagai akar literasi dapat hadir pada media
sosialisasi yang pertama dan utama, yaitu keluarga. Keluarga adalah
fundamen literasi yang tidak berkesudahan dan selalu berkelanjutan dengan
lingkup lini selanjutnya. Sebagai akar utama, keluarga merupakan titik
pantau yang harus dijaga keberadaanya. Hal ini dapat diterapkan pada
program literasi yang ada di Jepang, yaitu sebelum tidur sang Ibu dapat
mengajak anaknya untuk membaca selama 20 menit dan terbukti ketika Jepang
menjadi peringkat ke-2 terbaik di Asia setelah Korea Selatan dalam
hal minat baca menurut data Central Connecticut State University.
Selain itu, sekolah merupakan media sosialisasi yang tak kalah
krusialnya dari keluarga dalam literasi. Di sekolah, guru dapat
memproduksi sampah menjadi berlian. Dengan mendidik murid dari tidak
pandai menjadi pandai, melatih dari tidak bisa menjadi bisa, serta
membimbing dari tidak terampil menjadi terampil. Karena sekolah adalah
agen sosial yang nyata akan visinya dalam memajukan generasi suatu bangsa.
Dalam lingkup sekolah literasi digunakan sebagai sebuah keharusan serta
kunci dalam berproses guna menentukan hasil akhir.
Selanjutnya, masyarakat adalah media sosialisasi yang juga
dianggap penting dalam literasi. Dikarenakan setelah berada dilingkup
keluarga dan sekolah, seorang individu akan berinteraksi langsung dengan
masyarakat (pengecualian apabila orang tersebut anti sosial). Ketika
lingkungan masyarakat memiliki kemampuan literasi yang efisien, maka
seorang individu juga akan menjadi individu yang efektif terhadap
literasi. Terlebih dilingkup masyarakat tesebut sudah mendapatkan
legitimasi dengan literasi yang tinggi, maka individu tersebut dapat
meniru proses yang mayoritas diikuti oleh warga
masyarakat dilingkungannya, sehingga menimbulkan rasa yang berbeda ketika
bertindak minoritas. Karena pada hakikatnya manusia menyimpan tendensi
untuk berkelompok dengan lingkungannya yang saling membutuhkan, istilah
ini dapat disebut juga dengan gregariousness. Sebab itu, lingkungan
masyarakat menjadi media sosialisasi yang juga penting dalam proses
membentuk literasi.
Yang terakhir upaya yang dapat dilakukan guna membentuk literasi
yaitu ada pada media massa. Media massa memang salah satu agen sumber
literasi. Namun dalam hal ini, media massa haruslah yang membimbing serta
tepercaya. Karena kondisi media massa yang ada di internet, telah bergeser
mengarah pada kebutuhan primer diberbagai kalangan. Semua hal tak akan
efektif dan efisien tanpa internet. Dengan internet siapapun dapat
menjangkau ruang dan waktu, sehingga melampaui keterbatasan manusia
sebagai insan yang ketergantungan. Internet dapat pula menjajah suatu
bangsa yang tak siap dengan era revolusi serta memperdaya kaum yang tak
dapat membedakan antara berita riil dan berita hoax. Sehingga dalam
problem ini, masyarakat dan juga pemerintah selaku bagian penting literasi
harus lebih teliti serta dapat menanggulangi kekurangan. Selain membasmi
secara bertahap situs berita hoax yang tidak bertanggung jawab dengan
memfilter konten dan program dengan batasan umur, pemerintah juga wajib
mengarahkan warganya menjadi masyarakat literasi yang cerdas dan
anti hoax. “Saring Sebelum Sharing” merupakan salah satu contoh gerakan
yang tertuang dalam buku karya Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) yang
mengajarkan bahwa sebagai masyarakat literasi kita harus bisa menyaring
informasi sebelum dibagikan kepada diri sendiri terlebih dengan orang
lain.
Proses critical thinking menjadi hal yang wajib demi terciptanya kecapakan literasi informasi yang aktual, kredibel, dan efisien untuk individu. Kecakapan literasi menjadi sangatlah penting, semakin cakap seseorang dalam berliterasi, semakin tinggi kualitas individu, semakin progresif pula masa depan bangsa dan negara nanti. Berkaca dengan negara yang memiliki minat baca tinggi, sangat berpengaruh di dalam dunia global karena dalam meraih posisi unggul tersebut melibatkan literasi (baca-tulis) sebagai proses yang absolut sehingga terjadi reproduksi karya. Adapun proses untuk mencapai kecakapan literasi dapat diperoleh melalui beberapa cara, yaitu
- Rutinitas membaca buku;
- Fasilitas serta ketersediaan buku yang mencukupi;
- Pendidikan atau pelatihan bimbingan membaca dan menulis;
- Eksistensi atau keberadaan sebuah komunitas / organisasi / yayasan / kelompok penggiat literasi;
- Pentingnya penelitian dan kompetisi literasi;
- Gerakan atau program literasi yang berkesinambungan serta keberlanjutan; dan
- Jaringan global yang baik pada literasi.
Daftar Pustaka
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. PANDUAN GERAKAN LITERASI NASIONAL, 2017.
NADIRSYAH HOSEN. Saring Sebelum Sharing. Bentang Pustaka, 2019.
“WMLN - Rank By Category.” Diakses 4 Desember 2019.
8 Comments
bagus admin kin artikelnya, jadi teryata ada peran media sosial dlm peningkatan literasi baru tau aku
BalasHapusyups betul sekali. Karena media sosial sendiri sekarang ini hampir menjadi kebutuhan primer. Dari berbagai kalangan juga sudah mencoba media sosial. Semua dapat dilakukan dengan adanya internet, salah satunya untuk proses peningkatan literasi. Terima Kasih Siti sudah mampir ke rumah Kina. Stay tuned!
HapusWow ternyata selama ini peran media sosial tidak hanya untuk hiburan semata ya
BalasHapusYapss. Selain untuk hiburan dan meningkatkan literasi, media sosial juga bisa dijadikan tempat promosi perpustakaan. Kamu bisa lebih lanjut baca : https://kinapeople.blogspot.com/2020/10/ala-kadarnya-eksis-perpustakaan-dengan.html haha :D terima kasih sudah mampir yaa.
HapusWawasan ak jadi luas bgt ka
BalasHapusBelum seberapa ka, otak kita masih bisa menampung wawasan yang lainnya juga. Jangan lupa mampir di artikel Kina selanjutnya yaa, gomawooo.
Hapuskeren pemaparannya, saya setuju sekali dgn point membangun budaya kolektif agar dapat memajukan literasi. semangat terus author
BalasHapusYups, dengan kolektif semua mendapatkan kesempatan yang sama agar maju dan cepat tanggap dalam pengembangan literasi masyarakat. Vielen dank meine freundin.
Hapus